Menatap Masa Depan Pendidikan Nasional SMA Muhammadiyah 1 Pekajangan di
Pekalongan untuk mewujudkan sekolah yang berkualitas, unggul dalam IMTAQ dan
IPTEK, mampu berkompetisi di era globalisasi
PENDAHULUAN
Selama tiga dasawarsa
terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat
cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah
murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi
150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika,
Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik
sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut
disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti
dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai
ketimpangan pendidikan di tengah-tengah
masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara
kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan,
b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar
Jawa, antar penduduk kaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia
pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari
problem pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Pertama, pendidikan
cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem
persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the
dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish
sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai upaya
pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan
pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal
menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan
pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan
pendidikannya sendiri yang bersifat tidak menentu, tambal sulam,
melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan
penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam
perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya
harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi
pendidikan.
Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?
Pembangunan merupakan
proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat,
termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama
meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses
pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.
John C. Bock, dalam Education
and Development: A Conflict Meaning (1992),
mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan
ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja
untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c)
untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi
politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.
Berkaitan dengan
peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi
kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan:
Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat
bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup
penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut
pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan
merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan
keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam
proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara
pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan
lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa
investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate
of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam
bidang fisik.
Sejalan dengan
paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam
pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang
lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c)
secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya
warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat
secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini,
pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu
bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma Fungsional
dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia
pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma
pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin
reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang
yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Maka dapat dilihat
bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier
fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya,
pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil
yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum,
kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan
latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan
dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai,
kepatuhan, ijazah.
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output,
telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input
dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental
input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka
akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produk yang
dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia
pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya
bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu
asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek
pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung
tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak
pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik
yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Kedua, para pengambil
kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak
dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu
menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti
kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan
harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan,
yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia
ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia
yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan
perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide
dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan diuji, berbagai teknik dan metode
akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan
dilatih.
Sesuai dengan peran
pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi
perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah
single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan
untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga
pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh
dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus
disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis,
kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
Namun, pengalaman
selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa
berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat
tulisannya berjudul Education versus Qualifications
menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan
teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan
khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran
terdidik.
Berbagai problem
pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan
nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin
disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic).
Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan
menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran
pendidikan dalam pembangunan.
Penjelasan paradigma
peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan
kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama,
tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti
bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan
individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan
mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi
produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan
teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan
kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang
cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process,
yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih
sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma fungsional
dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan
pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal
sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang.
Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih
dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya,
tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi
dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine
of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan
tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan
ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat,
sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga, paradigma
fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu
mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja
erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah
terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian
selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan
pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji
kembali.
Keempat, paradigma
sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran
mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana
pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan
produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan
ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential
Society: An Historicaf Sosiology of Education
and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti
tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih
tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan
dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan
keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di
dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai
lembaga pendidikan yang lebih canggih.
Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik
Pembaharuan pendidikan
nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam
pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur
bangsa sendiri.
Paradigma peranan
pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional,
sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas.
Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat
interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi
semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of
growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal
sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama
kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan
kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan
tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat
sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.
Paradigma peran
pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan
paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin
ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan
bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki
makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan
bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain
berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam
suatu kesempatan berikutnya.
Paradigma pendidikan
Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan
harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada
proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2)
Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan
memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus
dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan
senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendidikan
Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks.
Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa
mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia
kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta
didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan
sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka
kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain,
pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk
mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang
strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem
persekolahan.
Dengan double tracks
ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan
dan fleksibilitas yang tinggi untuk
menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.
Berbagai problem yang
muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan
kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi
adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk
memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan
teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia
tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai
bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki
keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan
proses yang berlangsung di dunia kerja.
Pendidikan mewujudkan
Imtaq dan Iptek
Saat ini, tanda-tanda “bergesernya”
kepercayaan masyarakat itu sedikit banyak sudah mulai nampak. Dari sekian
banyak gejala yang telah menunjukkan tanda-tanda tersebut adalah sikap
masyarakat yang telah menempatkan lembaga pendidikan Muhammadiyah berada pada
urutan nomor dua, setelah sekolah negeri ataupun sekolah- sekolah swasta
berlabel Islam non Muhammadiyah. Menghadapi realitas demikian, perasaan gusar,
galau, dan bahkan hilangnya rasa percaya diri telah hinggap di sebagian
pengelola pendidikan Muhammadiyah. Ironisnya, hadirnya perasaan semacam itu
juga melahirkan disorientasi kognisi di antara sebagian pengelola pendidikan
Muhammadiyah.
Keadaan sosial yang sedang dihadapi
oleh dunia pendidikan Muhammadiyah itu tentu saja sangat berbanding terbalik
dengan apa yang terjadi di masa lalu. Jika dahulu pendidikan Muhammadiyah mampu
menunjukkan eksistensinya sebagai institusi modern dan layak menjadi tempat
pengharapan masyarakat perkotaan serta kelas menengah, namun mengapa sekarang
posisi itu justru bergeser menjadi pilihan kedua? Atau bahkan lebih. Jika dahulu,
pendidikan Muhammadiyah mampu melahirkan generasi-generasi berkepribadian utuh
sekaligus sanggup menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha
Muhammadiyah, namun mengapa sekarang ini banyak keluaran pendidikan Muhammadiyah
yang “jauh” dari Muhammadiyah?
Sebagai sekolah Islam
yang berada di bawah Persyarikatan Muhammadiyah yang mempunyai maksud tujuan
didirikannya Muhammadiyah adalah menegakkan
dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, maka sudah barang
tentu di dalam mengembangkan Pendidikan Muhammadiyah tentunya berorientasi pada
kemampuan untuk dapat meningkatkan kualitas Iman dan Taqwa (Imtaq). Sekolah
Muhammadiyah sekarang dan ke depan harus mampu menjadi pionir-pionir bagi
sekolah-sekolah lainnya, mengapa ?, karena SMA Muhammadiyah mempunyai kelebihan
dibanding dengan sekolah Negeri maupun Swasta lainnya. Kelebihannya adalah
dalam bidang Ciri Khusus, yaitu adanya Al Islam, Kemuhammadiyah dan Bahsa Arab.
Ketiga komponen tersebut kalau mampu dikelola dengan baik dan maksimal niscaya
menjadikan SMA Muhammadiyah akan mempunyai keunggulan yang menarik dan daya Saing bagi sekolah
lainnya. Dalam bidang lainnya adalah bagaimana dapat memberikan nilai tambah
dan unggul di dalam mengelola SMA Muhammadiyah ini, tentunya selain Al Islam
Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab, SMA Muhammadiyah harus mampu mengembangkan
kemampuan Bahasa Asing, tidak hanya ahasa Inggris saja tetapi bisa bahasa Jepang Cina, Francis atau
Jerman. Mengapa ini perlu ?, karena sekarang kita berada di era teknologi
komunikasi dan globalisasi. Penguasaan Teknologi Informatika dan Komputer, harus
menjadi barang wajib yang harus dikuasai oleh peserta didik SMA
Muhammadiyah 1 Pekajangan. SMA
Muhammadiyah 1 Pekajangan harus memulai
bekerja sama dengan Lembaga-lembaga lainnya yang melatih dan mendidik
ketrampilan terapan yang tepat, cepat dan hemat. Karena ini akan mendorong
adanya akselerasi penguasaan teknologi masa depan. Kalau kita tidak tangggap
terhadap perkembangan zaman ini, maka bukan tidak mungkin lagi kita akan
tertinggal jauh dibanding dengan SMA-SMA lainnya di Kabupaten dan Kota Pekalongan.
Masih belum terlambat kalau semua komponen dan penentu kebijakan di Sekolah ini
mau lebih maju, yang harus dilakukan sekarang adalah minside yang harus ditanamkan kepada semua pengambil
kebijakan, mulai dari sekolah, komite sekolah, Majelis Dikdasmen dan PCM
Pekajangan. Melibatkan Alumni, para pakar Pendidikan dan praktisi teknologi
adalah sangat penting, agar Sekolah ini ada perhatian lebih dari orang-orang
luar. Penampilan Sekolah harus diubah agar menarik dan nyaman ketika berada di
lingkungan sekolah. Tentunya harus memenuhi fasilitas-fasilitas yang memadai.
Kalau ingin maju pasti adanya pengorbanan dari segala hal. Memang tidak sedikit
investtasi yang harus dikeluarkan, tetapi insya Allah hasilnya akan segera
kelihatan 3 sampai 5 tahun ke depan. Kiranya diberi kepercayaan oleh Pimpinan
Majelis Dikdasmen PCM Pekajangan, insya Allah dengan semangat dan tekad
memajukan sekolah berbasis Islam ini akan mampu bersaing di era globalisasi
ini. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sudah barang tentu keharusan yang
harus diraih bagi SMA Muhammadiyah 1 ini, karena salah satu untuk mencapai
kesusksesan dalam bidang Pendidikan harus mampu meingkatkan kemampuan di dalam
penguasaan Iptek. Pencapaian Iptek
tentunya tersedianya sumberdaya manusia yang unggul dan terpenuhinya sarana dan
prasarana pendidikan dengan baik. Untuk meraih itu SMA Muhammadiyah 1
Pekajangan akan mengadakan channeling dengan dunia usaha, para pakar
pendidikan, teknolog, alumni dan siapapun yang peduli terhadap kemajauan SMA
Muhammadiyah 1 Pekajanga, tanpa harus kehilangan jati diri sebagai Sekolah
Muhammadiyah yang berbasis Al Islam.
Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan SMA Muhammadiyah 1 Pekajangan di
Pekalongan
-
Visi SMA Muhammadiyah 1 Pekajangan di Pekalongan
Untuk mewujudkan harapan diatas tentunya kami mempunyai Visi dan Misi ke
depan, Visi kami adalah dapat terwujudnya generasi muslim berkualitas yang berorientasi
kekinian, beriman, berilmu, dan
berakhlaq mulia unggul dalam Iman dan
Taqwa (IMTAQ) serta Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK)
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar