Peringatan
ISRO' MI'ROJ NABI MUHAMMAD SAW
BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM
Tahun Isro' Mi'roj
Pada tahun 12 Kenabian, bulan Rojab tgl 27 hari malam isnen, atau tahun 622 masehi Rosululloh SAW di Isro' Mi'roj kan oleh Alloh Ta'ala.
1. Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya[847] agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
[847] Maksudnya: Al Masjidil Aqsha dan daerah-daerah sekitarnya dapat berkat dari Allah dengan diturunkan nabi-nabi di negeri itu dan kesuburan tanahnya.
ISRO' ialah perjalanan Rosululloh di waktu malam dari Masjidil Harom (Makkah) sampai Masjidil Aqsho (Palestina) jarak kurang lebih 1500 km.
Ayat Al Qur_an yang menerangkan ISRO' surat Al Isro' ayat nomer 1.
MI'ROJ ialah naiknya Rosululloh SAW dari Masjidil Aqsho sampai Shidrotil Muntaha di atasnya langit tujuh.
Ayat ayat Al Qur_an yang menerangkan MI'ROJ Rosululloh SAW dalam surat An Najm dari ayat 7 sampai ayat nomer 18
7. Sedang dia berada di ufuk yang Tinggi.
8. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi.
9. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).
10. Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang Telah Allah wahyukan.
11. Hatinya tidak mendustakan apa yang Telah dilihatnya[1429].
12. Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang Telah dilihatnya?
13. Dan Sesungguhnya Muhammad Telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
14. (yaitu) di Sidratil Muntaha[1430].
15. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal,
16. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
17. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
18. Sesungguhnya dia Telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.
[1429] ayat 4-11 menggambarkan peristiwa Turunnya wahyu yang pertama di gua Hira.
[1430] Sidratul Muntaha adalah tempat yang paling tinggi, di atas langit ke-7, yang Telah dikunjungi nabi ketika Mi'raj.
TUJUAN ISRO' DAN MI'ROJ
Tujuannya Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wasallam di Isro' dan di Mi'roj kan itu di antaranya sebagai berikut :
1. Tujuan yang pertama
Melihat, menyaksikan, membuktikan akan apa apa yang telah beliau terima informasinya selama 12 tahun melalui Malaikat Jibril 'Alaihissalam.
2. Tujuan yang kedua
Selama 12 tahun beliau bertemu dengan Malaikat Jibril 'Alaihissalam, belum pernah beliau melihat rupanya Jibril AS yang sebenarnya. Selama 12 tahun Jibril tidak menampakkan rupanya yang sesungguhnya. Barulah waktu malam Mi'roj di Sidrotil Muntaha itulah beliau baru melihatnya rupa Jibril yang sesungguhnya.
3. Tujuan yang ketiga
Selama 12 tahun beliau hanya menerima qishoh nya para Nabi Nabi yang dahulu, tetapi beliau belum pernah bertemu kepada Rosul Rosul yang dahulu. Barulah pada malam Isro' Mi'roj lah beliau bisa bertemu dengan para Rosul Rosul yang sebelum Beliau.
4. Tujuan yang keempat
Kurang 12 tahun beliau di Isro' Mi'roj kan, beliau telah menerima kewajiban Sholat 2 macam :
1. Kewajiban sholat malam
2. Kewajiban sholat 5 waktu (Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya', Shubuh)
Pada malam Mi'roj itu beliau menerima :
1. Ketetapan hukum
2. Perubahan hukum
Sholat wajib 5 waktu yang telah di wajibkan tiap tiap hari dan malam selama 12 tahun itu, maka pada malam itu ditetapkan kewajiban untuk selama lamanya sampai yaumil qiyaamah.
Adapun kewajiban sholat malam selama 12 tahun itu, maka pada malam Mi'roj itu di rubah hukumnya menjadi Sholat Sunnah.
5. Tujuan yang kelima
Peristiwa Isro' Mi'roj itu untuk menguji keimanannya ummat Islam. Dengan adanya Isro' Mi'roj itu :
1. Apakah keimanannya kepada keRosulannya Rosululloh itu tetap tidak berubah.
2. Apakah ragu ragu.
3. Apakah tidak percaya (murtad)
6. Tujuan yang keenam
Di Sidrotil Muntaha itu Rosululloh SAW menerima ayat akhir surat Al Baqoroh secara langsung.
7. Tujuan yang ketujuh
Di Sidrotil Muntaha Beliau di tunjukkan rahasianya mahkota Al Qur-an.
Isra dan Mi'raj
Isra Mi'raj (Arab:الإسراء والمعراج, al-’Isrā’ wal-Mi‘rāğ) adalah dua bagian dari perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad dalam waktu satu malam saja. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam, karena pada peristiwa ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mendapat perintah untuk menunaikan shalat lima waktu sehari semalam.
Isra Mi'raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi[1] dan mayoritas ulama,[2] Isra Mi'raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi'raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer. Namun demikian, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri[3] menolak pendapat tersebut dengan alasan karena Khadijah radhiyallahu anha meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian, yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab. Dan saat itu belum ada kewajiban shalat lima waktu. Al-Mubarakfuri menyebutkan 6 pendapat tentang waktu kejadian Isra Mi'raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi'raj.
Peristiwa Isra Mi'raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam "diberangkatkan" oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi'raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah shalat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai macam hal yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Hikmah dari Isra' Mi'raj Posted by: hendra on Saturday, October 04, 2003 - 08:48
HIKMAH ISRO’ MI’ROJ
Hudzaifah.org - Beberapa pekan yang lalu, kita melewati sebuah peristiwa sejarah yang sangat monumental. Momentum sejarah tersebut adalah peristiwa yang terjadi sekitar 14 abad Hijriyah yang lalu, yaitu peristiwa Isra' Mi'raj. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Al-Quds, lalu dilanjutkan dengan menembus lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluq, malaikat, manusia, dan jin. Semua itu ditempuh dalam sehari semalam. Peristiwa itu sekaligus sebagai mukjizat mengagumkan yang diterima Rasulullah SAW.
Permintaan kaum kafir Quraisy kepada Nabi SAW
Sebenarnya, sebelum peristiwa itu terjadi, orang-orang kafir Quraisy pernah meminta kepada Rasulullah untuk menunjukkan hal-hal yang aneh, karena mereka tidak percaya kalau Muhammad SAW itu adalah nabi. Permintaan-permintaan itu mereka lontarkan untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar seorang Nabi. Hal ini direkam oleh Allah dalam Al Qur'an sebagai berikut:
"Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca". (QS. Bani Israil : 90 - 93)
Kalau kita jabarkan dari ayat di atas, mereka meminta hal-hal di bawah ini kepada Rasulullah:
- Mereka meminta untuk memancarkan mata air dari bumi.
- Mereka juga meminta sebuah kebun kurma dan anggur, dengan air mengalir di bawahnya. Padahal di sekitar situ sebagian besar padang pasir.
- Mereka meminta untuk menjatuhkan langit.
- Mereka juga meminta menghadirkan Allah beserta malaikat-malaikatnya untuk dihadapkan kepada mereka. Sungguh suatu permintaan yang lancang.
- Mereka juga meminta sebuah rumah dari emas.
- Yang terakhir, mereka meminta Nabi untuk naik ke langit tanpa membawa buku, lalu harus kembali dengan membawa sebuah buku (kitab) untuk mereka baca.
Permintaan mereka itu betul-betul "kebangetan". Tetapi Rasulullah SAW menjawabnya dengan bijaksana, "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?" (QS. Bani Israil: 93). Allah Yang Maha Suci tentu Maha Kuasa untuk melakukan semua itu, tetapi Rasulullah mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang manusia biasa yang diangkat menjadi seorang Rasul, sehingga tidak mungkin melakukan semua itu.
Kita bisa ambil pelajaran dari dari hal di atas. Mungkin sampai zaman kapan pun, kebenaran (baca: Islam) akan menghadapi hal-hal seperti itu. Orang yang membawa kebenaran akan selalu menghadapi permintaan-permintaan yang diluar kemampuan. Dan permintaan tersebut kebanyakan hanya sebagai "olok-olok". Karena, kalaupun kita bisa memenuhi permintaan itu, mereka kebanyakan tetap tidak akan mendengar Islam ini. Hanya sedikit yang mau mendengarnya. Sebagaimana halnya Rasulullah setelah mengalami peristiwa Isra' Mi'raj, tidak banyak yang mempercayai perjalanannya tersebut, bahkan ada yang mengatakan Nabi gila walaupun Nabi sudah memberikan bukti-bukti atas apa yang telah dia alami (Isra' Mi'raj).
Peringatan Isra' Mi'raj sebagai motivasi
Kalau kita baca sejarah kehidupan Rasulullah SAW (Sirah Nabawiyah), sebelum peristiwa itu terjadi, Rasulullah mengalami keadaan duka cita yang sangat mendalam. Beliau ditinggal oleh istrinya tercinta, Khadijah, yang setia menemani dan menghiburnya dikala orang lain masih mencemoohnya. Lalu beliau juga ditinggal oleh pamannya sendiri, Abu Thalib, yang (walaupun kafir) tetapi dia sangat melindungi aktivitas Nabi. Sehingga orang-orang kafir Quraisy semakin leluasa untuk melancarkan penyiksaannya kepada Nabi, sampai-sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran ke atas kepala Rasulullah SAW.
Dalam keadaan yang duka cita dan penuh dengan rintangan yang sangat berat itu, menambah perasaan Rasullah semakin berat dalam mengemban risalah Ilahi. Lalu Allah "menghibur" Nabi dengan memperjalankan beliau, sampai kepada langit dan menemui Allah. Hingga kini, peristiwa ini seringkali diperingati oleh sebagian besar kaum muslimin dalam peringatan Isra' Mi'raj. Pada dasarnya peringatan tersebut hanyalah untuk memotivasi dan penyemangat, bukan dalam rangka beribadah (ibadah dalam artian ibadah ritual khusus). Namun peringatan tersebut juga terdapat beberapa catatan. Apa saja itu? Mari kita ikuti beberapa hal di bawah ini.
Dalam Al Qur'an, dari sekian ribu ayat di dalamnya, hanya ada 4 ayat yang menjelaskan tentang Isra' Mi'raj, yaitu QS. Bani Israil ayat 1, dan QS. An Najm ayat 13 sampai 15. Maksudnya, kebesaran Islam itu bukan terletak pada peristiwa Isra' Mi'raj ini, tapi pada konsepnya, sistemnya, muatannya, dan sebagainya. Pada surat An Najm ayat 13-15 itu, menggambarkan bahwa Rasulullah menemui Jibril dalam bentuk aslinya di Sidratil Muntaha ketika Isra Mi'raj. Sebelumnya Rasulullah juga pernah menjumpai malaikat jibril dalam bentuk asli ketika menerima ayat pertama (QS. Al Alaq: 1-5) dari Allah SWT, yaitu ketika di gua Hira.
Dan di antara 25 nabi, hanya 2 Nabi yang yang pernah berbicara langsung kepada Allah, yaitu Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana dengan Nabi Adam, bukankah beliau juga pernah berdialog dengan Allah? Ya, tapi Nabi Adam ketika itu masih di Surga. Setelah diturunkan ke bumi, tidak lagi berdialog secara langsung. Nabi Musa berdialog dengan Allah secara langsung yaitu ketika di bukit Tursina (di bumi), sedangkan Nabi Muhammad di Sidratil Muntaha (di langit). Tetapi (sekali lagi), kebesaran Islam bukan di situ letaknya, namun di konsepnya, di muatannya. Oleh karena itulah, peristiwa Isra' Mi'raj sendiri tidak perlu secara berlebihan diangkat-angkat. Peristiwa itu sendiri merupakan mukjizat imani, maksudnya adalah mukjizat yang hanya bisa diterima apabila kita beriman.
Meskipun hanya Nabi Muhammad yang telah diperjalankan pada malam harinya (Isra' Mi'raj), tapi dia tetaplah manusia biasa, hamba Allah. Hal ini perlu ditegaskan, karena dua umat sebelum Islam (Yahudi dan Kristen), telah terjebak men-Tuhankan nabinya.
Mengapa Masjidil Aqsa?
Ada beberapa pertanyaan mengenai peristiwa Isra' Mi'raj. Salah satunya, mengapa dalam peristiwa itu Rasul diperjalankan ke Masjidil Aqsa? Kenapa tidak langsung saja ke langit? Paling tidak ada beberapa hal hikmahnya, antara lain:
- Bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya Nabi dari golongan Ibrahim AS yang berasal dari Ismail AS, sedangkan Nabi lainnya adalah berasal dari Ishaq AS. Inilah yang menyebabkan Yahudi dan Kristen menolak Nabi Muhammad, karena mereka melihat asal usul keturunannya (nasab). Alasan mereka itu sangat tidak ilmiah, dan kalau memang benar, mereka berarti rasialis, karena melihat orang itu dari keturunannya. Hikmah lainnya adalah, bahwa Nabi Muhammad berda'wah di Makkah, sedangkan Nabi yang lain berda'wah di sekitar Palestina. Kalau dibiarkan saja, orang lain akan menuduh Muhammad SAW sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan "golongan" Ibrahim dan merupakan sempalan. Bagi kita sebagai muslim, tidaklah melihat orang itu dari asal usulnya, tapi dari ajarannya.
- Hikmah berikutnya adalah, Allah dengan segala ilmu-Nya mengetahui bahwa Masjidil Aqsa adalah akan menjadi sumber sengketa sepanjang zaman setelah itu. Mungkin Allah ingin menjadikan tempat ini sebagai "pembangkit" ruhul jihad kaum muslimin. Kadangkala, kalau tiada lawan itu semangat jihad kaum muslimin "melemah" karena terlena, dan dengan adanya sengketa tersebut, semangat jihad kaum muslimin terus terjaga dan terbina.
- Berikutnya, Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi SAW. Pada Al Qur'an surat An Najm ayat 12, terdapat kata "Yaro" dalam bahasa Arab yang artinya "menyaksikan langsung". Berbeda dengan kata "Syahida", yang berarti menyaksikan tapi tidak musti secara langsung. Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung, karena pada saat itu da'wah Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Oleh karena itulah pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad juga dipertemukan dengan Nabi-nabi sebelumnya, agar Muhammad SAW juga bisa melihat bahwa Nabi yang sebelumnya pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya. Hal ini juga merupakan pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai da'i, bahwa dalam kesulitan da'wah itu bukan berarti Allah tidak mendengar.
Perintah Shalat
Pada Isra' Mi'raj, Allah memberikan perintah sholat wajib. Dan sholat Subuh adalah sholat yang pertama kali diperintahkan. Karena peristiwa Isra' Mi'raj sendiri terjadi pada saat malam hari. Subuhnya Rasulullah sudah tiba kembali di tempat semula. Mungkin ini juga hikmah bagi kita semua, karena sholat Subuh adalah sholat yang sulit untuk di laksanakan, di mana pada saat itu banyak manusia yang masih terlelap dalam tidurnya. Sebelum diperintahkannya sholat wajib 5 waktu ini, Rasulullah melaksanakan sholat sebagaimana Nabi Ibrahim.
Kita tidak hanya diperintahkan untuk mengerjakan sholat, tetapi juga menegakkan sholat. Sholat bukan segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari sholat, demikian kata seorang ustadz.
Demikianlah beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa Isra' Mi'raj. Semoga semakin menambah keimanan kita kepada Allah, kitab-Nya, Nabi-nabi-Nya, para malaikat-Nya, Hari Akhir, serta Qadha dan Qadar-Nya.
ISRA` MI`RAJ, EINSTEIN DAN KEBENARAN FIRMAN ILAHI
(Sebuah Tinjauan)
ISRA`MI`RAJ, sebagai sebuah peristiwa metafisika (gaib), barangkali bukan sesuatu yang istimewa. Kebenarannya bukanlah sesuatu yang luarbiasa. Kebenaran metafisika adalah kebenaran naqliyah (: dogmatis) yang tidak harus dibuktikan secara akal, namun lebih bersifat imani. Valid tidaknya kebenaran peristiwa metafisika—secara akal, bukanlah soal selagi ia diimani.
Namun, Isra` Mi`raj bukanlah peristiwa metafisika. Ia adalah peristiwa fisika (: nyata; badaniah) yang dialami dan dijalani Nabi Muhammad saw dengan segenap kesadaran inderawinya, sebagaimana diterangkan dalam Alqur`an surat Al-isra` ayat 1 dan Annajm ayat 13.
Maka, sebagai peristiwa fisika, Isra` Mi`raj adalah sesuatu yang istimewa. Kebenaran Isra` Mi`raj adalah kebenaran yang luarbiasa. Keistimewaan ataupun keluarbiasaan tersebut, tidak lain karena pemberontakannya pada tradisi. Kebenaran Isra` Mi`raj adalah kebenaran inkonvensional.
Maka, wajar kiranya, jika banyak orang pun mempertanyakan (meragukan?) ke-shahih-an Isra` Mi`raj tersebut. Menganggap Isra` Mi`raj sebagai sesuatu yang mengada-ada dan dongeng Nabi belaka.
Toh, Isra` Mi`raj bukanlah cerita rekaan ataupun dongeng Nabi. Isra` Mi`raj adalah sebuah firman Ilahi dan, firman Ilahi tetaplah sebuah kebenaran. Kebenaran hakiki dan mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Meski ia berseberangan dengan tradisi ilmu pengetahuan. Meski ia bertentangan dengan akal nalar manusia.
Albert Einstein
Maka, bukan suatu kebetulan kiranya, jika kemudian Allah ciptakan seorang manusia bernama Albert Einstein, ilmuwan berbangsa Yahudi (bangsa yang sejak awal `menentang` Islam), yang kelak dengan teorinya, kebenaran Isra` Mi`raj menjadi nyata adanya.
Lahir di Jerman tanggal 14 Maret 1879 dan meninggal di Amerika Serikat tanggal 16 April 1955. Sebagai ilmuwan, Einstein telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk menerobos dan membabat kelebatan dan kepekatan hutan ilmu pengetahuan. Dengan dedikasi dan vitalitasnya yang tinggi, iapun dapat membukakan jalan pencerahan bagi banyak orang. Ia telah menyumbangkan pikiran-pikirannya yang begitu berharga. Menyumbangkan teori-teorinya yang dapat memecahkan banyak teka-teki dan persoalan yang selama ini menyelimuti kehidupan.
Teori Relativitas
Satu dari sekian teorinya, adalah tentang relativitas. Sebuah teori yang mengupas hakikat alam semesta sebagai suatu susunan terpadu di mana segala yang ada di dalamnya, dengan kemajemukan dan keberagamannya, tunduk pada satu hukum universal, dengan kecepatan cahaya sebagai konstanta bandingnya. Sebuah teori yang, kelak melahirkan pula teori (ide) tentang bom atom yang begitu mengerikan itu.
Dalam teorinya itu, Einstein menerangkan bahwa tidak ada sesuatu yang mutlak dalam kehidupan ini. Segala sesuatu relatif dalam gerak dan kedudukannya. Sebuah bola yang bulat, suatu saat akan dapat berubah pipih. Begitu pun penggaris yang panjang, pada saat yang berbeda dapat mengerut, pendek. Sebuah benda yang berbobot ringan di satu saat, dapat menjadi berat atau tidak berbobot sama sekali di saat-saat lainnya. Jarum jam yang bergerak cepat mengukur waktu, ada kalanya menjadi lambat bahkan pada satu titik masa, berhenti sama sekali. Juga jantung yang berdenyut menandai usia, dapat mengalami kelambatan hingga usia pun berjalan lebih lambat dari yang semestinya.
Einstein merumuskan teorinya dalam sebuah persamaan:
t' | = | waktu benda yang bergerak |
t | = | waktu benda yang diam |
v | = | kecepatan benda |
c | = | kecepatan cahaya |
Diterangkan bahwa perbandingan nilai kecepatan suatu benda dengan kecepatan cahaya, akan berpengaruh pada keadaan benda tersebut. Semakin dekat nilai kecepatan suatu benda (v) dengan kecepatan cahaya (c), semakin besar pula efek yang dialaminya (t`): perlambatan waktu. Hingga ketika kecepatan benda menyamai kecepatan cahaya (v=c), benda itu pun sampai pada satu keadaan nol. Demikian, namun jika kecepatan benda dapat melampaui kecepatan cahaya (v>c), keadaan pun berubah. Efek yang dialami bukan lagi perlambatan waktu, namun sebaliknya.
Pada awalnya, teori Relativitas itu pun mendapat banyak tentangan. Seperti halnya Nabi saat memberitakan Isra` Mi`raj, Einstein saat mengumumkan teori tersebut, banyak dicemooh bahkan dianggap tidak waras karena, sebagaimana juga Isra` Mi`raj, teorinya itu pun telah menentang tradisi yang selama ini dianut dan dielu-elukan. Relativitas telah menolak kemutlakan ukuran bahwa semua benda selalu dalam keadaan tetap, tidak pernah berubah. Sebuah bola akan tetap bulat, sebuah penggaris akan tetap panjang, usia akan tetap berlari menua, bagaimanapun kondisinya.
Namun ketika laboratorium kemudian dapat menemukan gejala yang sama sebagaimana terurai dalam Relativitas, segera teori itu pun memperoleh kedudukannya yang semestinya sebagai sebuah kebenaran.
Studi tentang sinar kosmis, merupakan satu pembuktian.
Didapati bahwa di antara partikel-partikel yang dihasilkan dari persingungan partikel-partikel sinar kosmis yang utama dengan inti-inti atom Nitrogen dan Oksigen di lapisan Atmosfer atas, jauh ribuan meter di atas permukaan bumi, yaitu partikel Mu Meson (Muon), itu dapat mencapai permukaan bumi. Padahal partikel Muon ini mempunyai paruh waktu (half-life) sebesar dua mikro detik yang artinya dalam dua perjuta detik, setengah dari massa Muon tersebut akan meleleh menjadi elektron. Dan dalam jangka waktu dua perjuta detik, satu partikel yang bergerak dengan kecepatan cahaya (± 300.000 km/dt) sekalipun paling-paling hanya dapat mencapai jarak 600 m. padahal jarak ketinggian Atmosfer di mana Muon terbentuk, dari permukaan bumi, adalah 20.000 m yang mana dengan kecepatan cahaya hanya dapat dicapai dalam jangka minimal 66 mikro-detik.
Lalu, bagaimana Muon dapat melewati kemustahilan itu?
Ternyata, selama bergerak dengan kecepatannya yang tinggi—mendekati kecepatan cahaya, partikel Muon mengalami efek sebagaimana diterangkan teori Relativitas, yaitu perlambatan waktu.
Kebenaran Isra` Mi`raj
Demikianlah Relativitas telah dapat membuktikan kebenarannya. Menyingkap kebenaran-kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik keruwetan dan arogansi ilmu pengetahuan. Termasuk, kebenaran Isra` Mi`raj.
Sebagaimana diterangkan di depan, ketika sebuah benda bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, seperti halnya partikel Muon, benda itu akan mengalami efek perlambatan waktu. Seseorang yang meluncur ke angkasa dengan pesawat yang berkecepatan mendekati kecepatan cahaya, maka ia akan mengalami pertambahan usia yang lebih lambat dari yang semestinya di bumi. Ketika kembali ke bumi ia akan mendapati bumi telah begitu tuanya sedang dirinya hanya bertambah beberapa waktu saja. Ia telah terlempar ke masa depan. Namun jika kecepatannya ditambahkan hingga melampaui batas kecepatan cahaya, yang akan dialaminya bukanlah perlambatan waktu, namun sebaliknya. Ketika kembali ke bumi, bukan masa depan yang didapatinya. Namun, ia kembali ke masa lalu. Ia telah menjadi penziarah masa lalu.
Dan, inilah yang telah direfleksikan buraq, hewan sejenis kuda bersayap sebagai kendaraan Nabi saat melakukan perjalanan Isra`. Ketika memulai perjalanan yaitu dari Masjid Alharam (Mekkah), dengan daya kecepatan buraq (v>c), Nabi tidaklah mengarah ke masa depan. Namun kembali ke masa lalu. Dan, melewati masa lalu itulah Nabi memberangkatkan perjalanannya. Hingga, seiring guliran-guliran waktu perjalanan itu, perjalannpun melaju ke titik waktu saat mana beliau baru memulai. Hingga, kesan yang ada pun seolah-olah Nabi melakukan perjalanan Isra` Mi`raj hanyalah sesaat. Padahal, hakikatnya, beliau pun menjalani Isra` Mi`raj, berdasarkan `perhitungan` waktu pribadinya, lazimnya perjalanan-perjalanan sejenis lainnya dengan menghabiskan waktu berjam-jam atau berhari-hari atau bahkan lebih.
Demikianlah, Allah memang senantiasa memfirmankan kebenaran. Dan, firman-firman Allah memang senantiasa benar adanya. Meski terkadang akal & logika kita sangat sulit untuk menjangkaunya.
Shadaqallahul-adzim.
Isra’ Mi’raj dan Hakikat Shalat
dakwatuna.com - Allah berfirman dalam pembukaan surah Al Isra’: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Dari ayat ini bisa kita ambil beberapa pelajaran:
Pertama, bahwa yang Allah isra’kan adalah hamba-Nya (abduhu). Kata hamba maksudnya adalah Rasulullah saw. Ini merupakan deklarasi dari Allah bahwa Rasulullah saw. adalah contoh hamba-Nya. Dialah yang harus dicontoh untuk mencapai derajat kehambaan. Tidak ada yang pantas diidolakan dalam perjalanan menuju Allah kecuali Rasulullah saw. Mengapa? (a) Allah memuji akhlaknya: “Wa innaka la’alaa khuluqin adziim (Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung)” (QS. Al Qalam:4). (b) Rasulullah saw. dijamin masuk surga, maka siapa yang ingin masuk surga tidak ada pilihan keculi dengan mencontohnya. (c) Perbuatan Rasulullah adalah terjemahan hidup dari Al Qur’an. Maka tidak mungkin seseorang paham maksud Al Qur’an tanpa merujuk kepada sirahnya.
Kedua, bahwa isra’ mi’raj ini terjadi hanya semalam. Kata lailan pada ayat di atas, yang artinya “pada suatu malam” adalah penegasan terhadap makna tersebut. Dari sini nampak bahwa kejadian Ira’ mi’raj adalah mu’jizat. Sebab perjalanan sejauh itu di tambah lagi dengan naik ke langit lapis tujuh sampai ke sidratul muntaha adalah jarak yang tidak mungkin ditempuh dengan kendaraan apapun yang dimiliki manusia baik pada saat itu maupun pada zaman teknologi yang sangat canggih seperti sekarang ini. Untuk mencapai bintang terdekat saja dari bumi dengan mengendarai pesawat tercepat di dunia “Challanger” dengan kecepatan 20 ribu km perjam, para ilmuwan mengatakan itu membutuhkan 428 tahun. Sungguh luar biasa kejadian isra’ mi’raj sebagai bukti keagungan Allah sekaligus, sebagai bukti bahwa manusia bagaimana pun pencapain keilmuannya masih tetap tidak ada apa-apanya dibanding dengan kemahakuasaan Allah swt.
Ketiga, Diikatnya antara dua masjid: masjid Al haram dan masjid Al Aqsha menunjukkan beberapa hal: (a) bahwa Allah swt. sangat mencintai masjid. (b) bahwa semua bumi ini diciptakan oleh Allah untuk tempat bersujud. (c) bahwa semua masjid di manapun berada adalah sama, milik hamba-hamba Allah. (d) bahwa siapapun yang mengaku beriman ia pasti mencintai masjid dan meramaikannya. Allah berifirman: “Yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah:18). Karena dalam sejarah kita menyaksikan nabi saw. selalu membangun masjid setiap singgah di suatu tempat.
Keempat, kata masjid identik dengan ibadah shalat. Dan perjalan Isra’ mi’raj juga identik dengan penerimaan ibadah shalat, langsung dari Allah swt. Tidak ada ibadah dalam Islam yang diserahkan langsung oleh Allah kepada Rasulullah saw. kecuali shalat. Selain shalat semua ibadah diterima melalui malaikat Jibril alahissalam. Dari sini nampak betapa agungnya ibadah shalat. Dalam pembukaan surah Al Mu’minuun ketika Allah swt. menyebutkan ciri-ciri orang mu’min yang bahagia, penyebutan itu dimuali dengan shalat “alladziina hum fii shalaatihim khaasyi’uun” dan ditutup dengan shalat “walladziina hum ‘alaa shalawaatihim yuhaafidzuun”. Para ulama tafsir ketika menyingkap rahasia ayat ini mengatakan bahwa itu menunjukkan pentingnya shalat. Bahwa shalat merupakan barometer ibadah-ibadah yang lain. Bila shalat seseorang baik, maka bisa dipastikan ibadah-ibadah yang lain akan ikut baik. Sebaliknya bila shalat seseorang tidak baik, maka bisa dipastikan ibadah-ibadah yang lain tidak akan baik. Itulah makna ayat: “Innash sholaata tanhaa ‘anil fahsyaai wal mungkar (sesungguhnya shalat pasti akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar)” (QS. Al Ankabuut: 45).
Di hari Kiamat pun kelak demikian. Shalat tetap menjadi barometer ibadah-ibadah yang lain. Karena itu Nabi saw. bersabda: “Awwalu maa yuhasabu bihil ‘abdu yaumal qiyaamati ashshalaatu (yang pertama kali kelak di hisab pada hari Kiamat adalah ibadah shalat)”. WPerjalanan Isra’ Mi’raj
Isra’ Mi’ raj
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Isra 17:1)
Dan sesungguhnya dia (Muhammad) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada surga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S. An-Najm 53:13–18).
Muslim mengenal Isra Mi’ raj (الإسراء والمعراج) sebagai peristiwa Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan malam dari Mekkah ke Masjidil Aqsha dan naik ke langit (Sidrathul Muntaha) dan kembali ke Mekkah pada saat fajar bersama Malaikat Jibril. Dalam peristiwa ini Nabi Muhammad SAW menerima wahyu tentang ibadah Shalat. Kisah yang tertera dalam Quran ini menjadi fenomena sekaligus perdebatan, baik di kalangan muslim sendiri maupun di kalangan ilmuwan.
Kontroversi yang utama adalah tentang eksistensi Masjidil Aqsha. Awal Isra adalah dari Masjidil Haram atau Kabah di Mekkah. Apa yang ditulis dalam Quran adalah Muhammad melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Masjidil Aqsha memiliki arti ‘masjid terjauh’. Masjidil Aqsha yang kita kenal adalah berada di kompleks Al-Haram ash-Sharif –Temple Mount menurut Yahudi dan Nasrani– di Jerusalem. Selain Masjidil Aqsha di kompleks tersebut terdapat Qubbah As-Sakhrah atau Dome of the Rock. Dome of the Rock dibangun pada sekitar tahun 690M oleh kekhalifahan Umayyah, Abdul Malik bin Marwan, dan kemudian diikuti dengan pembangunan Masjidil Aqsha yang selesai pada tahun 710M.
Yang diperdebatkan adalah benarkah di kompleks tersebut kekhalifahan Umayyah membangun Masjidil Aqsha sebagaimana yang tertera dalam Quran sebagai tempat Nabi Muhammad SAW menuju dalam perjalanan malamnya di tahun 621M? Benarkah Masjidil Aqsha dalam Quran adalah Masjidil Aqsha di Jerusalem tersebut?
Pendapat ilmuwan dan ahli sejarah yang sering terdengar ada dua, bahwa Masjidil Aqsha yang dibangun adalah pengejawantahan ayat Quran supaya menjadi nyata karena di tahun 621M di kompleks tersebut tidak ada bangunan masjid bernama Aqsha, dan pendapat yang kedua adalah bahwa Masjidil Aqsha yang tertera dalam Quran adalah Masjid Nabawi di Madinah yang dibangun oleh Rasulullah SAW ketika hijrah, hal ini pun masih dipertanyakan sebab Isra terjadi setahun sebelum Hijrah ke Madinah terjadi.
Wilayah Jerusalem termasuk ke dalam wilayah yang disebut West Bank atau Tepi Barat (sebutan dari PBB), sebuah wilayah yang secara de jure tidak dimiliki oleh negara manapun, wilayah lainnya adalah Jalur Gaza. Jalur Gaza dan Tepi Barat dihuni oleh orang-orang Palestina sebanyak 80 persen dan sisanya orang-orang Israel. Kaum dan negara yang berkepentingan terhadap tanah suci ini bersikukuh pada kepercayaannya, Israel ingin Palestina minggat dari tanah tersebut, juga sebaliknya Palestina ingin Israel keluar dari tanah suci tersebut.
Entah sampai kapan konflik Arab-Israel ini akan berakhir, mungkin memang tanah suci tersebut ditakdirkan menjadi arena peperangan, dan peperangan bukanlah sebuah berkah, sedangkan Masjidil Aqsha dalam Quran nyata jelas disebut dengan “Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya” yang mungkin pula bisa disimpulkan itu bukanlah tanah suci, mungkin hanya bukti sejarah keemasan arsitektur Islam yang menjadi alasan untuk dilestarikan. Wallahualam.
Selain kontroversi juga terselip propaganda yang menyesatkan seperti Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan dengan mengendarai buraq, binatang berekor, bersayap, berkepala wanita. Buraq ini sering digambarkan dalam karya seni, namun hal tersebut adalah propaganda terhadap kiasan bahwa Muhammad adalah seorang ‘penunggang’ wanita. Dari rujukan Hadits Bukhari, “Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah. Kemudian didatangkan buraq, ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi melakukan isra’ dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha” tidak disebutkan bahwa buraq itu berkepala wanita.
Tentang Isra Miraj ada satu artikel yang ditulis oleh Imam A. M. Khattab di Islamic Center of Greater Toledo, Ohio, yang menyimpulkan untuk meyakini Isra dan Miraj terjadi karena nyata tertulis dalam Quran, sedangkan seperti apa prosesnya jelas sangat jauh dari alam pikiran manusia. Para ulama Muslim umumnya meyakini salah satu dari tiga pendapat berikut:
“There are three opinions. Some say he had seen it in his dream and the dream of the Prophet is true. Another group of ulama said no the journey had taken place but by his soul only not by his body. A third group of ulama said no he traveled body and soul. Who is correct I don’t know? I could choose any one of those opinions and every one of you is free to choose any one of those. That’s Islam. These are the Ayat Mutashabihaat, which are subject of ijtehad. But if you go and say these words in Masjid Saad [located on Monroe Street, Toledo, Ohio] they will declare you a kafir. But if you read all of the explanations (tafseers) of the Qur’an you will find these three opinions in them. So the important thing is that as Muslims we believe that the event of Isrā and Mirāj occurred”.
Sumber :
http://yulian.firdaus.or.id/2005/08/30/isra-miraj/comment-page-4/#comment-336435
Isra’ Mi’raj dipahami dengan Sains
ISRA’ MI’RAJ: Mu’jizat, Salah Tafsir, dan Makna Pentingnya
Dalam memperingati isra’ dan mi’raj sering kita diajak oleh pembicara pengajian akbar melanglang buana sampai ke langit, dan kadang-kadang dibumbui dengan analisis yang nampaknya berdasar sains. Bagi saya, aspek astronomis sama sekali tidak ada dalam kajian isra’ mi’raj. Tulisan ini saya maksudkan untuk mendudukkan masalah isra’ mi’raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih. Untuk itu pula akan saya ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan isra’ mi’raj dengan kajian astronomi. Makna penting isra’ mi’raj yang mestinya kita tekankan.
Kisah dalam Al-Qur’an dan Hadits
Di dalam QS. Al-Isra’:1 Allah menjelaskan tentang isra’: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dan tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18: “Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”
Sidratul muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Kejadian-kejadian sekitar isra’ dan mi’raj dijelaskan di dalam hadits-hadits nabi. Dari hadits-hadits yang sahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah. Kemudian didatangkan buraq, ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi melakukan isra’ dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Nabi SAW salat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu; Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril, “Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau.”
Dengan buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia.Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga
dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (’pena’). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai,
dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, “Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat engkau.” Jibril mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya.
Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah salat wajib. Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringan dan diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, “Saya telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah.” Maka Allah berfirman, “Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku.”
Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma’mur sampai menerima perintah salat tidak sama dalam beberapa hadits, mungkin menunjukkan kejadian-kejadian itu serempak dialami Nabi. Dalam kisah itu, hal yang fisik (dzhahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan badan fisik hingga bisa salat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan ruh para
Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga ditunjukkan dua sungai non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mu’min semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.
“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia….” (QS. 17:60).
“Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai saya (kata Nabi SAW), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya dapatkan apa yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, saya memperhatikannya….” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Hakikat Tujuh Langit
Peristiwa isra’ mi’raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur’an. Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan? Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa’ atau samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.
Bilangan ‘tujuh’ sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur’an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261) Allah menjanjikan: “Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya….” Juga di dalam Q.S. Luqman:27: “Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah….” Jadi ‘tujuh langit’ lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, … sampai langit ke tujuh dalam kisah isra’ mi’raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya.Kini ada sembilan planet (catatan: Pluto telah dikeluarkan sebagai planet, dimasukkan sebagai planet kerdil) yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka.
Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya –termasuk bumi– mengorbit jauh dari matahari. Nah, orang mungkin akan berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit ke dua orbit Mars, ke tiga orbit Jupiter, ke empat orbit Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan ke tujuh Pluto. Kok, klop ya.
Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid terjauh dalam QS. 17:1, ada di planet Pluto. Dan Sidratul Muntaha adalah planet ke sepuluh yang tak mungkin terlampaui. Jadilah, isra’ mi’raj dibayangkan seperti kisah Science Fiction, perjalanan antar planet dalam satu malam. Na’udzu billah mindzalik.
Saya berpendapat, pengertian langit dalam kisah isra’ mi’raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan ruh para Nabi. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah isra’ mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan mengetahuinya. Isra’ mi’raj adalah mu’jizat yang hanya diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Makna pentingnya
Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan isra’ mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali
(QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa isra’ mi’raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah
rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah salat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.
Makna penting isra’ mi’raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Salat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan:”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45)
Isra’ Mi’raj Perjalanan keluar Dimensi Ruang Waktu
T. Djamaluddin
LAPAN
Untuk melengkapi tulisan saya sebelumnya Isra’ Mi’raj Dipahami dengan Sains ( http://t-djamaluddin.spaces.live.com/blog/cns!D31797DEA6587FD7!292.entry ) tentang bagaimana Isra’ Mi’raj dipahami secara sains, saya tuliskan juga tentang perjalanan seperti apa isra’ mi’raj itu.Isra’ mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat terbang antarnegara dari Mekkah ke Palestina dan penerbangan antariksa dari Masjidil Aqsha ke langit ke tujuh lalu ke Sudratul Muntaha. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu.
Tentang caranya, iptek tidak dapat menjelaskan. Tetapi bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan keluar ruang waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah logika yang bisa menjelaskan beberapa kejadian yang diceritakan dalam hadits shahih. Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman.
Kita hidup di alam yang dibatas oleh dimensi ruang-waktu (x,y,z,t). Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu. Dalam kisah Isra’ mi’raj, Rasulullah bersama Jibril dengan wahana “buraq” keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada di Masjidil Aqsha. Rasul bukan bermimpi karena dapat menjelaskan secara detil tentang masjid Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam perjalanan. Rasul juga keluar dari dimensi waktu sehingga dapat menmbus masa lalu dengan menemui beberapa Nabi.
Di langit pertama (langit dunia) – tujuh berturut-turut bertemu (1) Nabi Adam, (2) Nabi Isa dan Nabi Yahya, (3) Nabi Yusuf, (4) Nabi Idris, (5) Nabi Harun, (6) Nabi Musa, dan (7) Nabi Ibrahim. Rasulullah SAW juga ditunjukkan surga dan neraka, suatu alam yang mungkin berada di masa depan, mungkin juga sudah ada masa sekarang sampai setelah kiamat nanti.
Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang waktu adalah seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Sekadar ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3 adalah ruang. Bidang dengan mudah menggambarkan garis. Demikian juga ruang dengan mudah menggambarkan bidang. Tetapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak berdimensi 3 tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang berdimensi 2.
Sekarang bayangkan adal alam berdimensi 2 (bidang) berbentuk U. Makhluk di alam “U” itu bila akan berjalan dari ujung satu ke ujung lainnya perlu menempuh jarak jauh. Kita yang berada di alam yang berdimensi lebih tinggi dengan mudah memindahkannya dari satu ujung ke ujung lainnya dengan mengangkat makhluk itu keluar dari dimensi 2, tanpa perlu berkeliling menyusuri lengkungan “U”.
Alam malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan waktu. Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi 3 mudah saja menggambarkan dimensi 2. Bukankah isyarat di dalam Al-Quran dan Hadits juga menunjukkan hal itu. Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur, sehingga seolah tidak ada kemarian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di berbagai tempat karena tak dibatas oleh ruang.
Rasulullah bersama jibril diajak ke dimensi malaikat, sehingga Rasulullah dapat melihat bentuk Jibril dan malaikat lainnya dalam bentuk aslinya (baca QS 53:13-18). Rasul pun dengan mudah pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, tanpa terikat ruang dan waktu. Langit dalam konteks istra’ mi’raj pun bukanlah langit fisik berupa planet atau bintang, tetapi suatu dimensi tinggi. Langit memang bermakna sesuatu di atas kita, dalam arti fisik maupun non-fisik.
allahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar